Mataram, NTB (POSTLOMBOK.COM) – Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) berencana melebur Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) ke dalam Dinas Sosial (Dinsos) dan Dinas Kesehatan (Disnkes) , dengan tetap mempertahankan nomenklatur urusannya dalam dinas-dinas tersebut.
Isu-isu perempuan dan anak harus dilihat dengan perspektif keadilan dan kesetaraan gender dalam arti luas, bukan hanya sebagai persoalan sosial semata.
Oleh karenanya isu-isu perempuan, anak dan kelompok rentan penting dan strategis diurus dengan sungguh sungguh. Mekanisme tata layanan justru harus ditingkatkan dan hal tersebut menjadi tanggung jawab negara untuk memberikan layanan yang berkualitas dengan mendasarkan pada perspektif keadilan dan kesetaraan gender, berbasis pada pemenuhan hak asasi manusia (HAM) dan hak asasi perempuan (HAP) serta perkembangan terbaik bagi tumbuh kembang anak.
“Kami, sebagai aliansi organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu perempuan dan anak di NTB, menilai kebijakan ini tidak tepat dan berpotensi melemahkan efektivitas perlindungan serta pemberdayaan perempuan dan anak di NTB,” ungkap Mardiana, salah satu pengurus Aliansi Pemerhati Perempuan dan Anak (APPA) NTB, dalam rilis resminya, Jumat 21 Maret 2025.
Untun itu, APPA NTB menyatajan pernyataan sikap menolak rencana peleburan DP3AP2KB ke dalam dinas lain dan mendesak Pemerintah Provinsi NTB untuk menghentikan langkah ini serta mempertimbangkan alternatif yang lebih berpihak pada kepentingan perempuan dan anak.
Adapun alasan penolakan APPA NTB tersebut antara lain:
1. Tidak Berlandasakan Kajian Mendalam
Kebijakan ini tidak didasarkan pada kajian empiris yang mempertimbangkan kondisi faktual perempuan dan anak di NTB.
Data menunjukkan bahwa angka perkawinan anak di NTB meningkat dari 16,23% pada tahun 2022 menjadi 17,32% pada tahun 2023, jauh di atas rata-rata nasional yang menurun menjadi 6,92% pada tahun 2023. Selain itu, pada tahun 2022, tercatat 1.022 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan 672 kasus di antaranya melibatkan anak-anak.
Data ini menunjukkan bahwa permasalahan perempuan dan anak di NTB masih sangat serius, sehingga diperlukan penguatan peran DP3AP2KB, bukan pelemahan dan penyempitan serta peleburan dalam satu dinas.
2. Beban Berat DP3AP2KB dalam Pengarusutamaan Gender (PUG), IPG, dan IDG DP3AP2KB memiliki peran sentral dalam pengarusutamaan gender (PUG), peningkatan Indeks Pembangunan Gender (IPG), dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG).
Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah amanah Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000, yang mengharuskan setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) mengintegrasikan perspektif gender dalam kebijakan dan programnya.
DP3AP2KB saat ini menjadi dinas koordinasi utama dalam pelaksanaan PUG, termasuk dalam penyediaan Anggaran Responsif Gender (ARG). Jika DP3AP2KB dilebur ke dalam Dinas Sosial, maka koordinasi lintas sektor akan melemah, dan pelaksanaan PUG di NTB berisiko tidak efektif.
IPG dan IDG NTB masih rendah, menandakan bahwa kesetaraan gender belum optimal. IPG NTB pada tahun 2023 berada di bawah rata-rata nasional, menunjukkan masih adanya ketimpangan akses perempuan terhadap pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Jika DP3AP2KB dilebur, maka upaya peningkatan IPG dan IDG akan semakin tidak terakomodasi karena tidak ada dinas khusus yang bertanggung jawab secara penuh terhadap peningkatan indikator gender ini.
3. Bahan Pengelolaan UPTD di DP3AP2KB Sudah Tinggi. Saat ini, DP3AP2KB memiliki UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) yang bertanggung jawab terhadap penanganan, pelayanan dan perlindungan bagi korban kekerasan.
Dengan tingginya angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di NTB, UPTD PPA sudah menghadapi tantangan besar dalam menangani kasus-kasus yang masuk termasuk kasus TPPO.
Jika dinas ini dilebur, maka koordinasi dan efektivitas penanganan kasus akan semakin buruk, mengingat beban UPTD PPA akan disesuaikan dengan sistem dan struktur dinas baru yang lebih luas cakupannya.
4. Beban Kerja Dinas Sosial Akan Semakin Berat, Terutama dalam Situasi Krisis
Dinas Sosial memiliki peran besar dalam menangani berbagai krisis sosial, termasuk bencana alam, konflik sosial dan dampak ekonomi bagi kelompok rentan.
NTB adalah daerah yang sering mengalami bencana alam, seperti gempa bumi dan banjir. Dalam situasi darurat, Dinas Sosial bertanggung jawab atas penyediaan bantuan sosial, shelter pengungsi, dan layanan bagi korban bencana.
Jika DP3AP2KB dilebur ke dalamnya, maka Dinas Sosial akan kewalahan dalam menangani beban tambahan terkait perempuan dan anak dalam situasi krisis. Dalam kondisi krisis, perempuan dan anak sering menjadi kelompok yang paling rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan.
Jika dinas yang menangani isu ini dilemahkan melalui peleburan, maka respon terhadap kebutuhan khusus perempuan dan anak dalam situasi krisis akan semakin lambat dan tidak maksimal.
5. DP3AP2KB Harus Diperkuat, Bukan Dilebur. DP3AP2KB seharusnya ditingkatkan peran koordinasi kelembagaan dan fungsinya agar mampu menjadi leading sector dalam perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak.
Peleburan ini bertentangan dengan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender yang menegaskan pentingnya koordinasi gender di tingkat propinsi hingga kabupaten/kota.
6. Mengancam Kepercayaan Publik dan Lembaga Donor. Penciutan DP3AP2KB atas nama efisiensi akan menjadi preseden buruk bagi kerja- kerja pemerintah yang dianggap tidak serius terhadap isu perempuan dan anak.
Bagi kerja organisasi masyarakat sipil yang bergerak di isu perempuan dan anak, banyak LSM di NTB yang berfokus pada isu ini, yang menunjukkan bahwa permasalahan perempuan dan anak masih kompleks dan memerlukan perhatian serius. Kebijakan ini juga dapat mengurangi kepercayaan lembaga donor terhadap komitmen pemerintah dalam menangani isu gender.
Dengan berbagai alasan tersebut, pihak APPA NTB merekomendasikan sejumlah alternatif, alih-alih meleburkan DP3AP2KB.
“Kami merekomendasikan beberapa alternatif kebijakan. Menguatkan DP3AP2KB sebagai dinas koordinasi utama dalam isu perempuan dan anak, dengan meningkatkan anggaran dan kapasitasnya,” kata Mardiana.
Jika ingin efisiensi, lakukan pemisahan peran dengan menyederhanakan DP3AP2KB menjadi DP3A (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) dan mengalihkan Pengendalian Penduduk & KB ke dinas lain yang lebih relevan.
Mengaktifkan focal point gender di semua OPD sebagai bentuk kepatuhan terhadap Inpres No. 9/2000. Memperkuat kapasitas UPTD PPA dengan alokasi anggaran dan tenaga kerja yang lebih memadai, bukan justru melemahkannya melalui peleburan yang berisiko menurunkan efektivitas layanan.
“Jadi kesimpulan kami, peleburan DP3AP2KB ke dalam Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan bukanlah solusi yang tepat untuk meningkatkan efektivitas layanan bagi perempuan dan anak. Aliansi LSM meminta Gubernur NTB untuk menghentikan rencana ini dan mempertimbangkan opsi lain yang lebih berpihak pada hak-hak perempuan dan anak,” tandas Mardiana.
Sekitar 15 organisasi dan 9 orang individu peduli, siap berdialog dan berkontrobusi dalam upaya peningkatan efektivitas kebijakan perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak di NTB.